Buah Maja yang pahit
Senin, 26 Maret 2012
Sekilas Tentang VOC
1.
Awal Berdirinya VOC
Veereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) merupakan
Perserikatan Maskapai Hindia Timur yang terbentuk karena banyaknya persaingan
perdagangan di Indonesia setelah kedatangan bangsa-bangsa Eropa sehingga sangat
merugikan Belanda. Persaingan tersebut kemudian menimbulkan pemikiran pada orang-orang Belanda agar
perusahaan-perusahaan yang bersaing itu menggabungkan diri dalam satu
organisasi yang kemudian disebut dengan VOC. VOC terbentuk pada tanggal 20 Maret 1602, Gubernur Jenderal yang
pertama adalah Pieter Both (1610-1619) diangkat pada 27 November 1609.
Di Indonesia VOC memiliki wewenang dan hak-hak,
antara lain yaitu :
Ø Hak mendata personil atas dasar sumpah setia
Ø Hak melakukan peperangan
Ø Hak untuk mengadakan perjanjian dengan
penguasa-penguasa di seluruh Asia
Ø Hak membentuk tentara dan mendirikan benteng-benteng
Ø Hak mengedarkan mata uang
Ø Hak memerintah di negeri jajahan
Pada
masa VOC, gubernur jenderal merupakan penguasa tertinggi di Hindia. Ia
mempunyai kekuasaan yang nyaris tak terbatas seperti halnya seorang raja
absolute karena tidak ada undang-undang yang khusus mengatur hak-hak dan
kewajibannya. Demikian pula dengan struktur pemerintahannya di Asia, khususnya
Hindia Timur juga tidak ditentukan. Salah satu pasal penting dari oktroi VOC adalah hak monopolinya,
sehingga dengan haknya itu VOC merupakan satu-satunya badan dari Belanda yang
boleh mengirimkan kapal-kapal ke daerah sebelah timur Tanjung Harapan.
Batavia menjadi
Tempat Pangkalan bagi Kapal VOC
Untuk bertahan dari ancaman kerugian yang disebabkan
karena setiap kapal berhak melakukan transaksi dagang sendiri dan VOC sendiri
terancam oleh Inggris, Spanyol, dan Portugis maka De Heeren XVII menyarankan
VOC harus memiliki pangkalan tetap (rendez-vous)
bagi kapal-kapalnya. Jayakarta merupakan kota yang direkomendasikan oleh
seorang pelaut Belanda, Matelieff untuk dijadikan pangkalan kapal VOC sekaligus
menjadi pusat kegiatan VOC. Matelieff berhasil membujuk de Heeren XVII untuk
menyuruh Both menjadikan Jayakarta sebagai tempat rendez-vous.
Pada Januari 1611 Pieter Both menandatangani kontrak
dengan penguasa Jayakarta, Pangeran Wijaya Krama. Kontrak tersebut memberikan
hak kepada pedagang Belanda untuk memakai sebidang tanah di desanya, yang
ketika itu cuma berpenduduk sekitar 8000 jiwa.[1] Dalam
perkembangannya Jayakarta berganti nama menjadi Batavia pada 30 Mei 1619 dan
melebihi fungsinya sebagai tempat pangkalan kapal VOC yaitu sebagai pusat
kekuasaan Belanda di Nusantara selama 350 tahun.
Ada beberapa rangkaian peristiwa mengapa Batavia
dapat menjadi pusat kekuasaan VOC, antara lain adalah terpilihnya Jan
Pieterszoon Coen sebagai gubernur jenderal ke-4 pada Juni 1618. Ia merupakan
pemuda berusia 31 tahun yang jeli, tegas, dan tekun. Coen dapat melihat rupanya
Banten, Mataram, dan Inggris saling menunggu untuk menyerangnya dan sama-sama
ingin menghancurkan VOC.
Peristiwa lain adalah kedatangan Pangeran Gabang ke
Jayakarta lengkap dengan pengawal pada 20 Agustus 1618. Hal ini membuat Coen
cemas dan segera menyingkirkan dari Banten ke Jayakarta. Ia membangun benteng
di tanah yang sudah ia sewa secara diam-diam karena dengan begitu ia telah
melanggarar perjanjian. Peristiwa lain lagi yaitu munculnya ancaman nyata dari
pihak Mataram dan Inggris, dan di Jayakarta lah VOC mempertahan diri dan
membuat banyak pertahanan maupun benteng.
2.
Kebijakan-kebijakan VOC
Dalam menangani wilayah kekuasaannya, VOC lebih
banyak melakukannya melalui pemerintahan tidak langsung. Hanya daerah-daerah
tertentu saja, seperti Batavia, yang diperintah langsung oleh VOC. Dalam system
ini, kaum pribumi nyaris tidak terlibat dalam struktur kepegawaian VOC.
Meskipun kaum elit pribumi terlibat dalam pemerintahan, tetapi status mereka
bukan pegawai VOC dan tidak digaji secara tetap oleh kongsi dagang tersebut,
para elit pribumi lebih banyak diperlakukan sebagai mitra kerja demi
kepentingan VOC. Hal ini jelas di daerah-daerah yang diperintah secara tidak
langsung. Di daerah semacam itu, VOC membiarkan struktur lama (tradional) tetap
berdiri. Melalui para elit tradisional inilah kepentingan VOC disalurkan,
antara lain dalam hal penarikan-penarikan wajib hasil prodil serta pajak-pajak
yang dikenal dengan system leverantie dan
contingenten (leveransi dan
kontingensi).
Selain berdagang, VOC juga harus mengurus kehidupan
kota, yang akan menjadi markas besarnya. Yang pertama adalah mengendalikan
penduduk kota, melindungi kota dan penduduknya dari pengaruh asing di
sekitarnya. Bahkan hampir semua penduduk awal kota Batavia merupakan dari luar
Nusantara karena takut terhadap pengaruh masyarakat sekitar. Para pejabat dan
karyawan VOC, para serdadu, penerjemah, dan ratusan budak merupakan dari luar
Nusantara seperti berasal dari Jepang, China, maupun Portugis. Jadi, ketika
kekuasaan VOC, yang dianggap sebagai warga kota adalah orang asing, sedangkan
orang asing merupakan penduduk asli setempat.
Penduduk Batavia dipilah-pilah dan dikelompokkan
sesuai dengan ras, daerah asal, dan status ikatan kerja mereka dalam
perdagangan VOC, maka terbentuk lima kelompok dengan catu yang berbeda, yaitu : [2]
1.
Kelompok Eropa
yang bekerja sebagai serdadu, tukang, dan magang, berhak atas daging dua kali
seminggu.
2.
Kelompok
Swaerten (hitam) dan Chineezen (China) yang bekerja pada VOC mendapat Sembilan
pon beras dua kali seminggu dan uang setengah gulden setiap bulan.
3.
Para istri dan
budak yang tak bekerja pada VOC tidak mendapat catu.
4.
Anak-anak
karyawan VOC berhak atas separo catu orang tua mereka.
5.
Golongan
burghers (warga biasa) atau vrijman (preman, warga bebas), tidak diberi catu
tetapi boleh membeli beras selama persediaan masih ada.
Dengan alasan kestabilan kota, VOC melarang orang
asing (orang Jawa) memasuki kota Batavia dan melarang penduduk kota keluar.
Untuk itu kemudian dibangunlah dinding tembok di sekeliling kota. Baru pada tahun
1624 VOC mengizinkan “orang Jawa” memasuki kota. Itu pun hanya untuk berdagang
di pasar-pasar yang sudah ditentukan.
Dalam kekuasaan VOC, pemilahan agama pun terjadi.
Peng-Kristenan besar-besaran khususnya pada para budak yang lebih tepatnya
dipaksa masuk dalam agama Kristen.
VOC juga melakukan tindakan mengutamakan pada
bangsa-bangsa tertentu seperti China dan Jepang. Misalnya kegiatan perpajakan
banyak diserahkan pada masyarakat China, hampir semua kegiatan bernilai ekonomi
tetapi hampir tidak penting bagi VOC diserahkan kepada kelompok masyarakat
China seperti mengumpulkan dan berdagang sarang burung, paruh burung, cula
badak, kapur barus, intan, danbeberapa barang berharga lainnya. Bahkan J.P.
Coen sendiri secara tegas menyatakan bahwa masyarakat China dianggap begitu
strategis bagi monopoli VOC. Sedangkan Jepang diberlakukan istimewa dalam
bidang pasukan bayaran yang dikontrak VOC di Hirado, pusat pedagangannya di
Jepang pada 1612. Selama pemilahan masih berdasarkan kegiatan dagang, agama,
dan kekuasaan VOC, orang Eropa digolongkan ke dalam kelompok atas. Begitu
kepentingan ekonomi VOC yang jadi pertimbangan, golongan Eropa sama sekali
tidak lagi memiliki keistimewaan.
Untuk semakin memperbesar kekuasaannya di Indonesia,
VOC melakukan cara-cara politik devide et
impera atau politik adu domba, dan tipu muslihat. Misalnya kalau ada
persengketaan antara kerajaan yang satu dengan kerajaan lain, mereka mencoba
membantu salah satu pihak. Dari jasanya itu, mereka mendapatkan imbalan berupa
daerah. Hal ini berlangsung setiap kali sehingga di Indonesia semakin banyak
daerah koloni orang-orang Eripa, terutama Belanda.
Untuk mempertahankan kegiatan monopoli dan
kekuasaan, VOC banyak menggunakan kekerasa. Misalnya menindak keras para
pedagang Makassar di daerah Misol, bahkan raja dan kapten laut Misol juga
ditawan (1702)
3.
Puncak Kekuasaan VOC
Pada 1641, Malaka berhasil direbut oleh VOC dari
tangan Portugis. Pada 1645, Maluku bebas dari gangguan Banten, dan Mataram mau
berdamai dengan VOC setelah Sultan Agung wafat (1646). Sekitar tahun-tahun itu,
praktis seluruh kawasan India ama bagi VOC sejak jatuhnya Sri Lanka (Ceilon).
Pada waktu itu, penduduk Batavia pun semakin tertib dan terkendali. Salah satu
cermin keberhasilan VOC ini adalah konsolidasi peraturan kota Batavia dalam
suatu kodifikasi hukum (de statute van
Batavia), yang diresmikan pada 5 Juli 1642. Kodifikasi ini, yang merupakan
akar hukum Hindia-Belanda, menetapkan dengan jelas peranan setiap alat
kekuasaan (termasuk agama Kristen) dan kelompok masyarakat. Selain itu, setelah
kestabilan Batavia terjamin, dalam 10 tahun berikutnya VOC dapat memusatkan
tenaga untuk melemahkan kekuasaan local, seperti Banten, Mataram, dan Makassar.
Sementara di Indonesia bagian Timur, VOC semakin
kuat setelah berhasil mengalahkan perlawanan Sultan Hasanudin dari Gowa.
Kekuasaan VOC berkembang di Kalimantan Selatan setelah VOC berhasil memaksakan
kontrak dan monopoli dengan Raja Sulaiman (1787). Di Maluku, dengan taktik adu
domba para penguasa, yakni VOC membantu Putra Alam untuk memerangi Sultan Nuku,
akhirnya Maluku dapat dikendalikan.
Sembilan tahun masa tenang setelah Malaka dikuasai
pada 1641, VOC memutuskan mengakhiri kekuasaan Portugis di Nusantara untuk
selamanya. Menjelang akhir jabatannya, Gubernur Jenderal ke-11, Carel Reyniersz
(1650-1653) diperintah menggempur Portugis sampai di pantai jazirah India.
Sejak Oktober 1652 sampai 1655, Portugis di Sri Lanka dipukul terus-terusan.
Pada 12 Mei 1656, pada masa Gubernur Jenderal ke-12, Joan Maetsuyker
(1653-1678), perlawanan Portugis berakhir dan Colombo dikuasai oleh VOC.
Maetsuyker memang dianggap salah satu gubernur
jenderal paling agresif. Ia berhasil tidak hanya menguasai Colombo, tetapi juga
seluruh Maluku (1655), Minahasa (1658) dan Gorontalo (1677), Mataram (1667),
serta Makassar (1669).
Dalam periode itu, VOC sedang berada pada puncak
kekuasaannya sebagai negara. Kerajaan-kerajaan local tidak hanya diungguli,
tetapi sudah merosot jadi sekadar pelayan kepentingannya. Jalur armada
dagangnya dari Maluku sampai Amsterdam lewat Tanjung Harapan sangat terjamin
keamanannya. Kenyataan itu telah sangat jauh melampaui syarat-syarat pelayaran
bebas, cita-cita agung yang merupakan tenaga penggerak utama Belanda untuk
mematahkan hegemoni Portugis dan Spanyol sejak akhir abad ke-16.
4.
Keruntuhan VOC
Pada dasarnya, sejak tahun 1760-an masa kejayaan VOC
sebagai kongsi dagang dunia sudah mulai meredup. Keterlibatannya dalam berbagai
konflik local dan penguasaan territorial yang semakin luas, membuat keuntungan
dagangnya terkuras. Kondisi ini diperparah oleh korupsi yang merajalela di
kalangan para pejabat VOC, sehingga sejak pertengahan abad ke-18 VOC tidak lagi
mengirimkan keuntungan ke negeri induknya, tetapi sebaliknya, justri mengutang.
Akhirnya pemerintah Belanda mengambil alih semua utang-piutang VOC. Namun
sebelum raja Belanda bertindak, pada bulan Desember 1794-Januari 1795 Perancis
menyerbu Belanda dan memaksa raja Oranje lari ke Inggris.
Sementara itu, perang di Eropa makin meluas.
Perancis bersekutu dengan Belanda melawan Inggris. Untuk keperluan dagang dan
pertahanan Nusantara, dari 1781 sampai 1795 VOC terpaksa menambah utang.
Willem V memandang tidak masuk akal lagi
mempertahankan VOC sebagaimana dikehendaki oleh beberapa pihak di Belanda. Maka
berdasarkan pasal 249 UUD Republik Bataaf (Belanda) 17 Maret 1799, dibentuklah
suatu badan untuk mengambil alih semua tanggung jawab atas milik dan utang VOC.
Badan ini bernama Dewan Penyantun Hak Milik Belanda di Asia. Pengambilalilahan
itu resmi diumumkan di Batavia pada 8 Agustus 1799. 31 Desember 1799, VOC resmi
dinyatakan bangkrut dan seluruh hak miliknya berada di bawah kekuasaan Negara
Belanda.
Sumber :
Parakitri T. Simbolon. 2007. Menjadi Indonesia. Jakarta:Kompas
M.C. Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta:PT Serambi Ilmu Semesta
Langganan:
Postingan (Atom)