Selasa, 08 Mei 2012


MAKALAH CANDI WRINGIN LAWANG

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Peradaban Majapahit bukanlah sebuah dongeng ataupun legenda belaka, keberadaannya didukung dan diperkuat oleh banyaknya bukti-bukti arkeologis yang ditemukan. Setiap peninggalan kebesaran Majapahit mengandung nilai historis dan ilmu pengetahuan. Salah satu peninggalan Majapahit yang hingga sekarang masih berdiri megah adalah Gapura Wringin Lawang. Gapura ini terletak di Dukuh Wringin Lawang, desa Jati Pasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Gapura Wringin Lawang sering disebut pula sebagai candi Jati Pasar. Sebutan yang digunakan terkadang gapura, terkadang juga candi. Akan tetapi lebih tepat jika Wringin Lawang disebut dengan gapura. Walaupun serupa dengan bangunan candi, namun Wringin Lawang seolah-olah dibelah menjadi dua bagian yang sama tanpa adanya atap. Bangunan seperti ini disebut candi bentar.
Banyak terdapat spekulasi tentang fungsi Gapura Wringin Lawang ini. Para ahli arkeologi berpendapat bahwa Gapura Wringin Lawang ini merupakan pintu gerbang kerajaan Majapahit, meskipun pusat kerajaan Majapahit sendiri belum diketahui secara pasti. Ada pula yang berpendapat bahwa Gapura ini adalah pintu masuk ke kediaman Patih Gajah Mada, pendapat lain menyebutkan bahwa Gapura Wringin Lawang merupakan tempat penyambutan tamu penting kerajaan. Namun yang pasti, Gapura Wringin Lawang merupakan salah satu peninggalan kerajaan Majapahit yang masih berdiri hingga kini.
Wringin sendiri berarti pohon beringin, sedangkan Lawang berarti pintu. Bangunan ini disebut Wringin Lawang karena disekitarnya bangunan pada saat ditemukan, banyak terdapat pohon beringin dan bangunan ini berbentuk seperti halnya pintu. Bahan dasar Gapura Wringin Lawang adalah bata merah, yang merupakan salah satu ciri peninggalan candi di Jawa Timur atau peninggalan kerajaan Majapahit dimana candi-candinya menggunakan bahan dasar batu bata merah.
Gapura Wringin Lawang sampai sekarang telah banyak mengalami pemugaran. Bahkan areal gapura pernah menjadi tempat pemakaman umum penduduk sekitar selama bertahun-tahun. Namun kini demi melestarikan bangunan bersejarah ini, pohon-pohon beringin banyak ditebang, dan pemakaman pun dipindahkan. Akan tetapi pemugaran yang dilakukan pada tahun 1990 dapat dikatakan kurang sempurna karena antar bentar kanan dengan kiri tidak sama ukurannya.
Hingga kini, situs Gapura Wringin Lawang digunakan oleh masyarakat sekitar sebagai tempat yang dikeramatkan sehingga di bulan-bulan tertentu diadakan semacam selamatan atau upacara-upacara ritual guna mencari berkah ataupun menghormati roh-roh yang dipercaya sebagai penjaga desa Jatipasar.

B.     Rumusan Masalah
Dengan mendiskripsikan Gapura Wringin Lawang dan mengetahui sejarah singkat kerajaan Majapahit, apa sebenarnya fungsi Gapura Wringin Lawang? Apakah ada hubungannya dengan kerajaan Majapahit? Bagaimana pendapat para ahli dan masyarakat sekitar?

C.     Tujuan
1.      Untuk menambah pengetahuan dan wawasan, menumbuhkan kreatifitas, kearifan, dan semangat agar kita sebagai mahasiswa dapat terus berkembang dan menciptakan keagungan peradaban baru.
2.      Untuk mengetahui bagaimana riwayat kerajaan Majapahit, khususnya situs Gapura Wringin Lawang di Trowulan mengingat sudah lebih dari 700 tahun peradaban Majapahit berlalu, kebesarannya bukanlah sebuah teori dan memori, keunggulannya diharapkan menjadi sumber inspirasi untuk menumbuhkan semangat dan menciptakan karya yang bermanfaat bagi generasi sekarang dan yang akan datang.


BAB II
DESKRIPSI OBJEK
Candi Wringin Lawang merupakan sebuah gapura megah yang terletak di desa Jati Pasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Candi Wringin Lawang merupakan salah satu peninggalan kerajaan Majapahit yang masih berdiri hingga kini. Di situs ini dulunya tumbuh sepasang pohon beringin dan karena itulah disebut “Wringin Lawang”. Begitu besar dan megahnya bangunan ini maka sering disebut candi (sedangkan tipe bangunan yang masuk definisi candi sebenarnya adalah tempat pemujaan). Dalam tulisan Raffles : History of Java I, 1815 disebut dengan Gapura Jati Pasar, sementara berdasar cerita Knebel dalam tulisannya tahun 1907 menyebutnya sebagai Gapura Wringin Lawang.[1]

A.    LOKASI
Gapura Wringin Lawang terletak di Desa Jatipasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Tepatnya dari jalan raya Mojokerto-Jombang masuk ke arah selatan sekitar 200 M. Jarak dari Surabaya ±68,5 KM.
Gapura Wringin Lawang ini berada di tengah-tengah pemukiman warga, sehingga daerah disekitarnya terlihat lebih ramai dan juga terawat.

B.     UKURAN DAN BAHAN BANGUNAN
Gapura Wringin Lawang terbuat dari batu bata merah, kecuali bagian anak tangganya yang terbuat dari batu. Bentuk gapura adalah candi bentar (candi terbelah dua) dengan denah empat segi panjang berukuran :
·         Panjang                 : 13 m
·         Lebar                     : 11,5 m
·         Tinggi                    : 15,50 m
Orientasi bangunan mengarah ke timur-barat dengan azimuth 279o. Jarak antara dua bagian gapura selebar 3,5 m dengan sisa-sisa anak tangga pada sisi timur dan barat. Diperkirakan anak tangga ini semula dibatasi oleh pipi tangga. Dari hasil penggalian arkeologis pada sebelah utara dan selatan gapura terdapat sisa struktur bata yang mungkin merupakan bagian dari tembok keliling.

C.     PEMUGARAN
Pada bagian tertentu gapura telah di konsolidasi (tambal sulam). Sebelum dipugar gapura sisi utara sebagian tubuh dan puncaknya telah hilang, tersisa tinggal setinggi 9 m. namun gapura ini kini telah utuh kembali setelah dipugar pada Tahun Anggaran 1991/1992 s.d. 1994/1995.[2]
Adapun proses pemugaran Gapura Waringin Lawang adalah sebagai berikut:
1.      Pembongkaran bata
Pembongkaran bata dilakukan dengan cara membongkar bata yang sudah lapuk atau rusak, kemudian diganti dengan bata merah yang baru yang warna dan ukurannya disesuaikan dengan yang asli. Hal ini dilakukan agar bangunan terlihat lebih indah dan lebih sempurna.
2.      Pemasangan perkuatan
Pemasangan perkuatan bertujuan untuk memperkuat dan memperkokoh bangunan Gapura Waringin Lawang sebagai salah satu peninggalan kerajaan Majapahit. Pemasangan perkuatan ini juga dilakukan di bangunan yang lainnya.
3.      Rekonstruksi
Rekonstruksi adalah upaya memperbaiki suatu bangunan agar menjadi lebih bagus sebagaimana bangunan bersejarah yang memiliki arti penting. Rekonstruksi Gapura Waringin Lawang terutama dilakukan pada salah satu sisi Gapura yang tingginya lebih dari sisi lainnya. Jadi, setelah direkonstruksi bangunan Gapura Waringin Lawang antara sisi kanan dengan sisi kiri terlihat simetris dan seimbang.
4.      Konservasi
Konservasi merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk menjaga bangunan Gapura Waringin Lawang agar awet, terpelihara, dan tidak dirusak oleh oknum-oknum yang tidak memiliki rasa cinta terhadap sejarah bangsanya.
5.      Penataan Lingkungan
Penataan lingkungan dilakukan agar di sekitar bangunan Waringin Lawang. Hal ini dilakukan dengan cara menanan tanaman hias, agar kawasan wisata sejarah Gapura Waringin Lawang terlihat indah dan asri.
Dalam penelitian arkeologis baik dalam bentuk survey maupun penggalian di halaman barat daya gapura ditemukan 14 buah sumur. Bentuk sumur ada dua macam yaitu silindrik dan kubus. Dinding sumur untuk bentuk silindrik menggunakan bata lengkung, sedang untuk dinding sumur kubus digunakan bata berbentuk kubus pula. Pada sumur yang berbentuk silindrik dijumpai pula dinding sumur yang menggunakan jobong yaitu semacam bis beton yang terbuat dari terakota/tanah liat bakar. Penempatan sumur di muka rumah sampai saat ini masih banyak dijumpai di rumah-rumah tradisional.
Gapura yang diyakini sebagai pintu gerbang menuju kerajaan Majapahit ini ditemukan dalam keadaan polos tanpa hiasan. Bangunan agung yang tersusun dari susunan bata kini menjadi platform gapura di Jawa Timur. Sebuah ciri arsitektur Vernakular yang bertahan berabad-abad lamanya. Gapura Wringin Lawang menempati areal tanah seluas 616 m2.

D.    TEKHNIK PEMBUATAN
Gerbang ini lazim disebut bergaya “candi bentar” (candi terbelah dua). Gerbang ini bukanlah candi melainkan gapura yang memang serupa benar dengan candi, akan tetapi seolah-olah dibelah menjadi dua bagian yang sama, dari atas ke bawah sama bentuk dan kemudian diletakkan renggang bagian atap tidak tertutup. Gaya arsitektur seperti ini mungkin muncul pada era Majapahit dan kini banyak ditemukan dalam arsitektur Bali.
Material pembuatan bangunan gapura ini terbuat dari batu pada bagian anak tangganya dan bata merah pada bagian lainnya. Proses pembuatannya jauh berbeda dengan zaman sekarang. Dalam proses pembuatannya meliputi :
·         Pemilihan tempat sumber tanah liat yang diambil
·         Pengayaan sampai selembut tepung
·         Pencetakan
·         Pembakaran juga dituntut lebih dimana warna batu bata menuntut warna yang sama, maka kita tidak melihat warna hitam karena gosong di salah satu permukaannya
·         Setelah batu bata jadi adalah proses penyatuan batu bata menjadi struktur candi yang meliputi penggosokan satu sama lain sehingga resiko perembesan air benar-benar diperhatikan dan penyatuannya menggunakan campuran beberapa bahan alam antara lain putih telur dan tetes tebu


BAB III
GAPURA WRINGIN LAWANG DAN MAJAPAHIT

A.    SEJARAH SINGKAT KERAJAAN MAJAPAHIT
Sejarah Kerajaan masa Hindu-Budha di daerah Jawa Timur dapat dibagi menjadi 3 periode. Periode pertama adalah raja-raja dari kerajaan Kediri yang memerintah sejak abad ke 10 Masehi hingga tahun 1222 Masehi. Periode kedua dilanjutkan oleh pemerintahan raja-raja dari masa Singosari yang memerintah dari tahun 1222 Masehi hingga tahun 1293 Masehi. Periode ketiga adalah masa pemerintahan raja-raja Majapahit yang berlangsung dari tahun 1293 Masehi hingga awal abad ke 6 Masehi.[3]



Raja pertama sekaligus sebagai pendiri kerajaan Majapahit adalah Raden Wijaya. Ia bergelar Kertarajasa Jayawardhana. Pada awal pemerintahan, pusat kerajaan Majapahit berada di daerah Tarik. Karena di wilayah tersebut banyak ditumbuhi pohon maja yang buahnya terasa pahit, maka kerajaan yang didirikan Raden Wijaya tersebut kemudian dinamakan “MAJAPAHIT”. Raden Wijaya memerintah dari tahun 1293 M hingga 1309 M.
Untuk memperkuat kedudukannya di atas tahta kerajaan Majapahit, Raden Wijaya mengangkat keempat putri Raja Kertanegara sebagai permaisurinya. Keempat putrid itu adalah Tribhuana, Narendraduhita, Pradnyaparamita, dan Gayatri.
Banyak pemberontakan yang terjadi pada awal pemerintahan Raden Wijaya yang dilakukan oleh teman-teman seperjuangannya. Para pemberontak tidak puas atas kedudukan atau jabatan yang diberikan kepadanya. Para pemberontak itu diantaranya Sora, Ranggalawe, dan Nambi. Akan tetapi pemberontakan itu dapat dipadamkan.
Raden Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309 M, dan dimakamkan dalam dua tempat, yaitu dalam bentuk jina (Budha) di Antapura dan dalam bentuk Wisnu-Syiwa di Candi Simping (dekat Blitar).[4]
Pemerintahan kemudian digantikan oleh Kaligemet yang merupakan putra Raden Wijaya dengan Parameswari. Pada saat itu, Kaligemet masih relative muda. Ia bergelar Jayanegara. Pada masa pemerintahannya banyak pula pemberontakan yang terjadi. Dan pada akhirnya, pada tahun 1328 M Jayanegara terbunuh oleh tabib pribadinya yang bernama Tanca.
Kekuasaan selanjutnya dipegang oleh Dyah Gayatri yang dijuluki Baginda Raja Raja Patni, yaitu istri Raden Wijaya yang merupakan salah satu putri Raja Kertanegara dari Singosari.[5] Bersama patihnya Gajah Mada, ia berhasil menegakkan kembali wibawa Majapahit dengan menumpas pemberontakan yang banyak terjadi. Raja Patni kemudian mengundurkan diri sebagai raja dan menjadi pendeta Budha, dan kemudian wafat pada 1350 masehi. Tampuk pemerintahan kemudian diserahkan kepada anaknya yang bernama Tribhuana Wijaya Tunggadewi. Dalam menjalankan pemerintahannya, ia dibantu oleh Patih Gajah Mada dengan ikrarnya yang dikenal dengan “Sumpah Palapa”. Majapahit tumbuh menjadi negara yang besar dan termasyur, baik di kepulauan nusantara maupun luar negeri.
Tribhuana Tunggadewi mengundurkan diri pada 1350 M. pemerintahan dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Hayam Wuruk. Pada masa pemerintahannya, kerajaan Majapahit mencapai masa keemasan. kemuliaan Raja Hayam Wuruk layaknya “matahari” yang memanasi jagat raya, sehingga beliau disejajarkan “bagai matahari dalam memusnahkan musuhnya”. Musnahnya para musuh menyebabkan rakyat Majapahit sentosa, kebenaran tegak, semua tunduk, dan menyerahkan upeti pada Baginda Raja.[6] Namun ketika Hayam Wuruk meninggal pada tahun 1389 M, terlebih patih Gajah Mada juga meninggal pada tahun 1365 M negara Majapahit mengalami kegoncangan akibat konflik saudara yang saling berebut kekukasaan.
Meninggalnya patih Gajah Mada meringkihkan persatuan dan kesatuan kerajaan Majapahit. Negarakertagama memberitakan setelah Gajah Mada meninggal diadakan perundingan untuk memilih seorang tokoh yang pantas menggantikan jabatannya sebagai patih Majapahit. Tidak ada seorangpun yang berani menggantikan kedudukan patih Gajah Mada.[7]
Pengganti Hayam Wuruk adalah putrinya yang bernama Kusumawardhani yang menikah dengan Wikramawardhana. Sementara itu, Wirabhumi, yaitu putra Hayam Wuruk dari selir menuntut juga tahta kerajaan. Untuk mengatasi konflik tersebut, Majapahit kemudian dibagi menjadi 2 bagian, yaitu wilayah timur dikuasai oleh Wirabhumi dan wilayah barat diperintah oleh Wikramawardhana bersama Kusumawardhani. Namun ketegangan diantara keduanya masih berlanjut hingga kemudian terjadi perang “Paregreg” pada tahun 1403-1406 M. prang tersebut dimenangkan oleh Wikramawardhana yang kemudian menyatukan kembali wilayah Majapahit. Ia kemudian memerintah hingga tahun 1429.[8]
Wikramawardhana kemudian digantikan oleh putrinya yang bernama Suhita yang memerintah dari tahun 1429 M hingga 1447 M. Suhita adalah anak kedua Wikramawardhana dari selir. Selir tersebut merupakan putrid Wirabhumi. Diharapkan dengan diangkatnya Suhita menjadi raja akan meredakan persengketaan. Ketika Suhita wafat, kekuasaan digantikan oleh Kertawijaya yang merupakan putra Wikramawardhana. Pemerintahannya berlangsung singkat hingga tahun 1451 M. Pamotan kemudian menjadi raja dengan gelar Sri Raja Sawardhana dan berkedudukan di Kahuripan. Masa pemerintahannya sangat singkat hingga tahun 1453 M.
Majapahit mengalami “Interregnum”[9] yang mengakibatkan lemahnya pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Pada tahun 1456 M, Bhre Wengker kemudian tampil memegang pemerintahan. Ia adalah putra Raja Kertawijaya. Pada tahun 1466 M, ia meninggal dan kemudian digantikan oleh Bhre Pandan Salas yang bergelar Singhawikramawardhana. Namun pada tahun 1468 M, Kertabumi menyatakan dirinya sebagai penguasa Majapahit yang memerintah di Tumapel, sedangkan Singhawikramawardhana kemudian menyingkir ke Daha. Pemerintahan Singhawikramawardhana digantikan oleh putranya yang bernama Rana Wijaya yang memerintah dari tahun 1447 M hingga 1519 M. Pada tahun 1478 M, ia mengadakan serangan terhadap Kertabumi dan berhasil mempersatukan kembali kerajaan Majapahit yang terpecah-pecah karena perang saudara. Rana Wijaya bergelar Grindrawardhana.
Kondisi kerajaan Majapahit yang telah rapuh dari dalam dan disertai munculnya perkembangan baru pengaruh islam di daerah pesisir utara Jawa, pada akhirnya menyebabkan kekuasaan Majapahit tidak dapat dipertahankan lagi.

B.     KRATON MAJAPAHIT
Istana Majapahit amat megah layaknya matahari bersinar di siang hari, bagai bulan bersinar di malam hari. Berpagar batu bata merah amat tinggi dan kokoh, di sebelah barat pintu gerbang (Pura Waktra) menghadap lapangan luas dilingkari parit yang dalam. Pohon beringin ditata berjajar dengan berbagai bentuk, dan di sini tempat para petugas secara bergiliran menjaga balairung istana. Di sebelah utara gapura dengan pintu besi berukir, di sebelah utara agak ke selatan terletak pasar. Di sebelah timur panggung menjulang tinggi, terasnya berwarna putih, sedangkan di selatan ada jalan simpang empat yang luas tempat berkumpulnya para prajurit di bulan Maret-April.
Halaman depan istana alun-alun berbentuk segi empat dengan bangunan ruang terbuka di tengah-tengah, di sebelah utara bangunan balai penghadapan para pendeta dan para Menteri duduk berkumpul, di timur tempat para Pendeta Siwa Budha mendiskusikan ilmu pengetahuan berbagai jenis upacara penyucian negeri bila terjadi gerhana pada bulan Palguna (Februari-Maret) agar negeri tetap aman dan berhasil.[10]
Kemudian di sebelah timur terdapat tempat upacara kurban api (Pahoman) berderet tiga-tiga di tengah-tengah tenpat pemujaan Siwa amat tinggi, disusul di sebelah selatan tempat para pendeta utama ditata berjenjang, di halamannya terdapat teras tempat melakukan kurban. Selanjutnya, di utara tempat Pendeta Siwa Budha, bangunannya bersusun tiga dengan puncak berukir indah, disertai bunga-bungaan yang mekar, harum semerbak menambah indahnya Kraton Majapahit.
Di bagian dalam sebelah selatan alun-alun bersekat pintu terdapat Balirung yang teratur, diapit bangunan indah berderet ke jalan arah barat penuh bunga-bungaan. Di bagian barat bersekat pula, sebelah selatan panggung dengan berjenis bangunan mengitari tepi, di tengah-tengah halaman yang amat luas terdapat Pendopo tempat berjenis-jenis burung berkicau. Di dalamnya lagi ada Paseban memanjang ke selatan menuju pintu gerbang kedua pura. Semua bangunan dasarnya amat kuat dengan tiang balok dan kasau tak tercela. Di sini penuh prajurit yang menghadap secara bergantian sambil bersendau-gurau.
Pelataran bagian dalam pintu kedua halamannya datar dan luas, indah, dan asri, penuh dengan bangunan serta ruang terbuka tempat orang-orang mengahadap di istana, di timurnya sebuah bangunan mengaggumkan tinggi dan indah lengkap dengan peralatannya tempat Baginda Raja Majapahit menerima para pengahadap. Singgasana raja dihias indah, Raja Singa Wardhana di istana selatan bersama Permaisuri serta putra putrinya, di utara Baginda Raja Kertha Wardhana, laksana di Sorga Loka.
Di timur bersekat dengan halaman depan istana  Raja Wengker bersama Rani Daha sanat mengagumkan, Baginda Raja Mutahun bersama Rani Lasem berdampingan berada di dalam, dan tak terlalu jauh di selatan tempat pemukiman Baginda Raja Majapahit sangat indah dan asri. Di utara agak di utara pasar ada bangunan besar indah tempat adinda Raja Wengker amat setia sebagai Patih Daha bergelar Bathara Narapati, dan di timur laut Wisma Patih Gajah Mada. Di selatan istana adalah perumahan para Dharma, di timur perumahan Siwa Budha serta perumahan para bangsawan, arya, dan ksatria. Demikian secara singkat penataan istana Majapahit amat indah bercahaya laksana matahari dan bulan.[11]


C.     SPEKULASI FUNGSI ASLI GAPURA WRINGIN LAWANG
Dugaan mengenai fungsi asli Gapura Wringin Lawang masih mengundang banyak spekulasi, diantaranya adalah :
1.      Penafsiran paling popular menyebutkan bahwa Gapura Wringin Lawang merupakan pintu gerbang untuk memasuki kompleks keratin kerajaan Majapahit.
2.      Penafsiran yang kedua adalah menyebutkan bahwa gapura Wringin Lawang merupakan tempat penyambutan tamu penting kerajaan Majapahit.
3.      Penafsiran yang ketiga adalah menyebutkan bahwa gapura ini merupakan jalan masuk ke kediaman Maha Patih Gajah Mada.

Dalam makalah ini kami akan mengkaji penafsiran yang paling populer terlebih dahulu mengenai Gapura Wringin Lawang sebagai pintu gerbang untuk memasuki kompleks keraton kerajaan Majapahit. Spekulasi mengenai hal ini masih menjadi perdebatan, mengingat pusat centris kerajaan Majapahit belum ditemukan secara pasti.
Jika Gapura Wringin Lawang merupakan pintu masuk pusat keraton Majapahit tentunya jarak bangunan satu dengan yang lain berjauhan, minimal dapat dilewati dua kereta kuda sekaligus dan tentunya kita akan berpikir dimana posisi pejalan kakinya. Selain itu undak-undakan anak tangga tentunya khusus pejalan kaki. Dengan demikian untuk seukuran keraton Majapahit yang daerah kekuasaannya sanpai di daerah Kamboja sedikit aneh memiliki gapura sekecil itu untukk ukuran cakupan daerah kekuasaan.
Anggapan Gapura Wringin Lawang adalah tempat penyambutan tamu kerajaan. Hal ini dapat diilustrasikan sebagai berikut :
Jika daerah ini merupakan tapal batas negoro dengan monco negoro, maka apabila ada tamu raja yang hendak ngabulu bekti atau melaporkan hal-hal penting, tentunya proses ini tidak berjalan cepat. Dahulu pasti dilakukan oleh sekelompok orang yang mengendarai kereta kuda dari jauh bersama para pengikutnya, ada yang naik kuda, bahkan ada juga yang berjalan kaki. Jika hal itu kita gambarkan kita dapat  membayangkan betapa ributnya saat itu untuk sebuah kompleks Trowulan yang dihitung sebagai kompleks kerajaan yang diukur dengan 9x11 Km, lalu bagaimana apabila ketika itu ada upacara besar dimana dihadiri semua raja telukan. Mungkin Gapura Wringin Lawang ini merupakan tempat penyambutan resmi raja keluar dan kembali dari monco nagari. Hal ini didukung juga dengan adanya undak-undak atau tangga digerbang tersebut. Dengan demikian tidak semua orang diperkenankan memasuki tempat diantara kedua bangunan tersebut, dan tentunya disamping-samping gapura tersebut terdapat jalan yang lebar dengan struktur sama modernnya dengan teknik pembuatan gapura tersebut.
Penafsiran yang ketiga adalah mengenai gerbang itu merupakan jalan masuk ke kediaman Maha Patih Gajah Mada. Hal ini diperkuat dengan bukti-bukti sebagai berikut :
Pada suatu kompleks kerajaan besar, pada umumnya keraton terletak disebelah utara dan sebelah selatan untuk pemukimam rakyatnya, jika Gapura Wringin Lawang dihubungkan dengan gapura masuk ke ibu kota Majapahit yang terletak disebelah utara . Bila demikian tentunya ambang gapura harus menghadap utara-selatan. Sedangkan arah hadap Gapura Wringin Lawang ini timur-barat, sehingga diduga merupakan pintu masuk menuju kepatihan. Sebab lain menghadap timur-barat, letaknya dekat dengan pasar dan terpisah dari keraton. Selain itu disekitar situs ini pernah ditemukan tera kota topeng yang bentuknya menyerupai wajah Patih Gajah Mada.

D.    FILOSOFI GAPURA WRINGIN LAWANG
a.       Bentuknya yang menyerupai puncak gunung, merupakan perlambangan dari gunung “Mahameru” yang diyakini sebagai tempat bersemayam para dewa.
b.      Terbelah menjadi dua, kanan-kiri, atas-bawah, terang-gelap lambang laki-laki dan perempuan, lambang kesuburan, penciptaan dan adanya konsep dualisme (keseimbangan)
c.       Pada gapura jikalau dilihat dari sisi luar, terdapat gapura kecil menempel pada bagian induk. Gapura kecil digambarkan sebagai gerbang yang dimiliki rakyat dan yang lebih besar merupakan gerbang milik raja. Dengan demikian arti yang terkandung adalah kebijaksanaan raja jauh lebih besar daripada kekuasaan rakyat namun rakyat seutuhnya dibawah perlindungan kekuatan dan kebijaksanaan raja.

E.     PERBANDINGAN GAYA LANGGAM CANDI DI JAWA TENGAH DAN JAWA TIMUR SERTA KAITANNYA DENGAN GAPURA WRINGIN LAWANG
Skala gigantris dari gapura ini mengakibatkan banyak orang menafsirkan sebagai candi, yang menunjukkan kredibilitas kerajaan yang memunculkan nama tenar seperti Hayam Wuruk dan Tribuana Tunggadewi.
Kitab Negarakertagama menyebutkan 27 buah percandian[12], tetapi hanya beberapa diantaranya yang masih dapat kita kenali hingga saat ini seperti candi Singosari, candi Kidal, candi Jago, candi Jawi dan candi Simping. Ciri yang menyertai percandian Majapahit adalah kaki candi yang tinggi bertingkat dengan tubuh candi dibalut bingkai melingkar dan atap candi yang tinggi menyita atap candi. Sedangkan arsitektur Majapahit dari bangunan profan (bukan bersifat religius) adalah gapura, pentirtaan dan kolam, seperti halnya Gapura Wringin Lawang.
Menurut Dr. W.F Stutterheim dan Dr. H.J Kroen nama candi merupakan kependekan dari “candika” yaitu salah satu nama dari Dewi Durga. Perbandingan gaya atau langgam candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah sebagai berikut :

No

Langgam Jawa Tengah

Langgam Jawa Timur
1
Bentuk bangunan tambun
Bentuk bangunan ramping
2
Atapnya berundak-undak
Atapnya merupakan perpaduan tingkatan
3
Puncaknya berbentuk Ratna/stupa
Puncaknya berbentuk kubus
4
Gawang pintu dan relung berhiaskan kala makara
Makara tidak ada, pintu dan relung atas diberi kepala kala.
5
Reliefnya timbul agak tinggi dan lukisannya naturalis
Reliefnya timbul sedikit saja dan lukisannya simbolis menyerupai wayang kulit
6
Letak candi di tengah halaman. Kebanyakan menghadap ke timur.
Letak candi agak di bagian belakang. Kebanyakan menghadap ke barat.
7
Bahan candi batu andesit
Bahan candi kebanyakan dari bata



BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Situs Trowulan merupakan satu-satunya situs perkotaan masa klasik di Indonesia. Situs yang luasnya 11x9 Km, cakupannya meliputi wilayah Kecamatan Trowulan dan Soko di Kabupaten Mojokerto serta Kecamatan Mojoagung dan Mojowarno di Kabupaten Jombang.
Situs bekas kota kerajaan Majapahit ini dibangun di sebuah dataran yang merupakan ujung penghabisan dari tiga jajaran gunung yaitu, Gunung Penanggungan, Gunung Welirang, dan Gungung Anjasmara. Sedangkan kondisi geografis daerah Trowulan mempunyai kesesuaian lahan sebagai daerah pemukiman dengan topografi landai dan air tanah yang relative dangkal. Ratusan ribu peninggalan arkeologis dijumpai di situs ini, salah satunya adalah Gapura Wringin Lawang.
Situs peninggalan kerajaan Majapahit yang sangat menarik ini diperoleh melalui penelitian yang panjang. Penelitian terhadap situs Trowulan pertama kali dilakukan oleh Wardenaar tahun 1815. Ia mendapat tugas dari Raffles untuk mengadakan pencatatan peninggalan arkeologis di daerah Mojokerto. Hasil kerja Wardenaar dicantumkan oleh Raffles dalam bukunya “History of Java” (1817) yang menyebutkan bahwa berbagai objek arkeologi yang berada di Trowulan sebagai peninggalan dari kerajaan Majapahit.
Gapura Wringin Lawang terbuat dari batu untuk bagian tangganya dan bata untuk bagian badannya. Teknik pembuatannya dengan digosokkan. Wringin artinya beringin, lawang artinya pintu. Disebut Wringin Lawang karena dulunya di situs ini terdapat pohon beringin. Bangunan gapura ini berbentuk candi bentar, perrnah mengalami pemugaran pada tahun 1990an. Gapura bisa direnovasi apabila batu aslinya lebih dari 50%. Untuk melakukan pemugaran harus memakai pedoman. Pedoman membuat pemugaran disebut hasta kosala-kosali. Gapura Wringin Lawang bentuknya polos tidak terdapat relief karena dihubungkan dengan pintu masuk (gapura) yang hingga kini masih menjadi spekulasi apakah pintu masuk menuju kompleks kerajaan Majapahit ataukah gapura menuju kediaman Maha Patih Gajah Mada (kepatihan).


DAFTAR PUSTAKA
Riana, I Ketut. 2009. Kakawin Dēśa Warṇnana uthawi Nāgara Kṛtāgama Masa Keemasan Majapahit. Jakarta:PT Kompas Media Nusantara.
Kusumajaya, I Made, dkk. Mengenal Kepurbakalaan Majapahit Di Daerah Trowulan. Dinas Pariwisata Jawa Timur
Badrika, I Wayan. 2004. Pengetahuan Sosial Sejarah. Jakarta:PT Bumi Aksara
Kartodirdjo, Sartono. 1993. 700 Tahun Majapahit (1293-1993) Suatu Bunga Rampai Edisi Kedua. Surabaya:Dinas Pariwisata Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur
Slametmulyana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta:Bhratara Karya Aksara


[1] Drs. I Made Kusumajaya, M.Si. dkk. Mengenal Keprbakalaan Majapahit Di Daerah Trowulan. Hal. 28
[2] Ibid. Hal. 28
[3] I Made Kusumajaya, dkk. Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Daerah Trowulan. Hal. 6
[4] I Wayan Badrika. 2004. Pengetahuan Sosial Sejarah. Hal. 60
[5] Dalam Nāgara Kṛtāgama Masa Keemasan Majapahit (2009), Prof. Dr. Drs. I Ketut Riana, S.U. menyatakan bahwa Dyah Gayatri merupakan permaisuri utama Raja Kerta Rajasa Jaya Wardhana (Raden Wijaya). Beliau membimbing putrinya Dyah Tri Bhuwana Tungga Dewi saat bertahta di Wolwatikta (Majapahit). Baginda Raja Patni adalah Nenekda Raja Rajasa Nagara (Hayam Wuruk), dan beliau dusejajarkan dengan Bhatari Parama Bhargawati yang bertugas melindungi alam jagat raya.
[6] Prof. Dr. Drs. I Ketut Riana, S.U.. 2009. Nāgara Kṛtāgama Masa Keemasan Majapahit. Hal. 33.
[7] Sartono Kartodirdjo. 1993. 700 Tahun Majapahit(1293-1993), Suatu Bunga Rampai Edisi Kedua. Hal. 58
[8] I Made Kusumajaya, dkk. Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Daerah Trowulan. Hal. 7
[9] Masa peralihan kekuasaan
[10] Pararaton (Padmapuspita, 1966) melalui Nāgara Kṛtāgama Masa Keemasan Majapahit (2009), Prof. Dr. Drs. I Ketut Riana, S.U. menyatakan bahwa gerhana dianggap sebagai tanda-tanda alam yang menyiratkan berbagai makna menurut pandangan masyarakat Hindu di Bali sampai saat ini. Banyak kejadian ditandai dengan “gerhana, gunung muncul, atau gunung runtuh”
[11] Prof. Dr. Drs. I Ketut Riana, S.U.. 2009. Nāgara Kṛtāgama Masa Keemasan Majapahit. Hal. 34-36
[12] Slamet Mulyono, 1973, Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya : Jakarta, Bharata Jaya Aksara
Salah satu relief di Candi Panataran
Mata air yang dipercaya tidak pernah kering di Candi Panataran
Candi Tikus di Trowulan